DPR Jangan Pasang Badan bagi Penguasa

Tokoh Muda Inspiratif Kompas #21

Nurul Arifin – Anggota DPR-RI 2009-2014

 

Tahun 1987 nama Nurul Arifin menjulang di langit Indonesia karena menjadi salah satu bintang film Naga Bonar. Setelah itu, ia bisa menyelesaikan sekitar 40 judul film. Kemudian ia terjun ke dunia bisnis dan gerakan aktivis lembaga swadaya masyarakat di bidang kesehatan dan sosial.

Menjelang akhir 1998, ketika ditanya tentang tragedi berdarah Semanggi, Nurul mengatakan, ”Peristiwa itu menyedihkan, mengapa gerakan mahasiswa dihadapi dengan peluru dan pentungan.” Namun, saat itu ia mengatakan, tidak tahu tentang politik. Antara tahun 2004 dan 2009, ia banyak mendapatkan tawaran untuk menjadi calon wali kota, bupati, dan wakil gubernur. Ia belum bersedia. Ia memilih untuk kuliah bidang politik di Universitas Indonesia, meraih S-1 dan S-2. ”Saya masuk dunia politik seperti air yang mengalir,” ujarnya dalam suatu wawancara di salah satu kamar di Gedung DPR Senayan, Jakarta, pekan lalu.

Inilah petikan tanya jawab dengan Nurul Arifin:

Mengapa tidak menerima tawaran jadi bupati, wali kota, atau wakil gubernur?

Saya tidak ingin keburu-buru di situ. Saya ingin jadi anggota DPR dulu. Maka, saya masuk Partai Golongan Karya dulu pada tahun 2003. Saya putuskan masuk Golkar karena di sana strategis bagi saya. Waktu itu partai itu dalam masa mereformasi diri, mau menerima gagasan-gagasan baru, misalnya tentang isu-isu perempuan yang sedang saya geluti saat itu. Saat itu Golkar tak punya tokoh perempuan yang menonjol, kecuali Ibu Marwah Daud. Jadi, arena kompetisinya tak terlalu berat.

Sekarang di Golkar saya bisa jadi diri sendiri, bisa mengungkapkan ide-ide saya.

Bagaimana rasanya jadi anggota DPR selama dua bulan lebih ini?

Saya masuk ke parlemen setelah perjuangan yang kedua. Tahun 2004 gagal. Tahun 2009 ini nomor satu dan meraih suara terbanyak. Dulu tahun 2004 mendapat suara 83.000 suara. Sekarang 142. 500 suara karena ditambah Kabupaten Bekasi. Wilayah pemilihan saya adalah Bekasi, Purwakarta, dan Kerawang.

Dengan masuk ke DPR, saya merasa perjuangan politik akan lebih strategis. Strategis untuk diimplementasikan, untuk disumbangkan. Jadi, kalau tadinya dedikasi saya hanya di jalan, yakni sebagai aktivis perempuan, kesehatan, dan sosial, sekarang perspektifnya beda. Sekarang ikut menentukan kebijakan. Di sinilah jantung perubahan bisa dilakukan.

Anda memilih Komisi II…?

Komisi ini menangani bidang politik dalam negeri, Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, dan lainnya. Saya tidak memilih bidang yang berkaitan dengan aktivitas saya sebelum ini, yakni aktivis perempuan. Saya pilih di Komisi II karena pengalaman melihat sistem politik di Indonesia dan kesejahteraan yang tidak merata.

Saya melihat sumber alam di Indonesia melimpah. Akan tetapi, rakyatnya banyak yang tetap miskin. Kenapa ini? Tentu banyak faktor. Ini tentu karena distribusi yang tidak benar. Saya juga melihat tentang otonomi daerah yang bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat ternyata tidak bisa terlaksana. Ini saya lihat karena sistem yang kurang berjalan. Selain itu, saya memilih Komisi II karena bidang studi saya, yakni S-1 dan S-2 adalah politik Indonesia.

Selain itu, apa lagi yang membuat pilihan pada Komisi II?

Ada rasa gemes ketika saya menjalani masa kampanye sebagai calon legislatif. Masa kampanye delapan bulan bagi saya terlalu lama. Ini tidak efektif karena di lapangan muncul politik uang. Di Komisi II ini saya ingin tahu apakah sistem pemilihan umum macam sekarang sudah betul seperti yang kita inginkan. Apakah demokrasi yang kita usung ini sudah betul sesuai dengan harapan hati terdalam bangsa Indonesia.

Dua bulan DPR baru tampil, ditandai dengan penampilan Komisi III yang tidak menyebarkan aroma wangi…

Iya. Saya lihat teman-teman bermainnya kurang cantik. Jadi, seharusnya yang namanya Dewan Perwakilan Rakyat jelas suaranya harus pro pada rakyat. Representasi suara rakyat. Kalau ada kepentingan lain, seharusnya tidak sesarkastis begitu. Jadi, jangan lantas pasang badan untuk kepentingan lebih besar atau untuk penguasa.

Penampilan teman-teman ini bisa menjadi pelajaran, ya ?

Ya. Akan tetapi, saya bersyukur di Komisi II itu komposisinya bagus. Jadi, mereka yang berusia tua, ada yang mantan gubernur, mantan bupati, mantan wali kota, dan mantan sekretaris daerah. Dari yang tua sampai yang muda ada di tempat saya. Campur. Kalau saya lihat di Komisi III kebanyakan orang-orang muda, kurang bijak atau wise. Kalau di Komisi II itu campur, jadi kita saling mengisi. Saya senang. Rata-rata bagus.

Di Komisi III itu juga ada teman-teman Nurul dari Partai Golkar ya, dan salah satu unsur pimpinannya juga dari Golkar bukan?

Ya, dari kita ada sepuluh orang di situ. Teman-teman saya. Bagi saya, mereka di sana itu saya lihat sebagai pembelajaran. Di sana bagi mereka sebagai arena pembelajaran. Bagi saya, sebagai pembelajaran juga supaya jangan begitu. Mereka di sana juga sedang memainkan amanat partai. Akan tetapi, itu tidak mudah.

Apa yang ingin Anda lakukan sebagai anggota DPR ?

Saya ingin memberikan diri saya. Saya ingin berguna sekali bagi rakyat. Karena sejak awal saya menjadi aktivis, kebahagiaan yang saya temukan adalah ketika saya memberikan diri saya dan bisa membahagiakan orang lain.

Itu yang akan saya bawa sampai kapan pun. Jadi, saya akan tetap idealis seperti itu.

Membahagiakan orang lain sebagai anggota DPR, konkretnya bagaimana?

Memberikan yang mereka perlukan. Memberikan yang bisa menyenangkan mereka. Akan tetapi, tidak hanya soal materi saja, ya. Misalnya mereka bisa merasakan pekerjaan saya, dedikasi saya.

Orang bisa melihat keseriusan saya, dedikasi saya. Paling tidak saya bisa mempersembahkan itu dulu. Konkretnya yang bisa saya lakukan untuk konstituen saya dalam rangka mempersembahkan kerja saya adalah, kalau di Kerawang sering banjir dari Citarum. Dari APBD sulit diharapkan untuk mengatasi hal itu. Maka, saya ingin berjuang cari dana lewat APBN untuk membuat bendungan di sana.

Tidak ingin jadi anggota parlemen yang vokal? Anggota parlemen itu harus pandai bicara karena parlemen itu berasal dari kata parler , artinya bicara…

Ya, ingin jadi vokal. Akan tetapi, vokal yang kritis, tidak asal bunyi, dan asal dapat panggung.

DPR ini sudah merupakan panggung, jadi panggungnya sudah ada. Tinggal bagaimana saya bermain di atasnya secara cantik. Juga, ngapain saya harus bersuara jika suara itu kosong. Saya ingin jadi anggota parlemen yang cerdas.

Oleh : J Osdar / KOMPAS, Jumat, 20 November 2009

 

One Response to “DPR Jangan Pasang Badan bagi Penguasa”

  1. Kristoforus Loko Says:

    Gue salut sama mbak Nurul Arifin, politisi muda Golkar yang cantik dan cerdas. Memang selama ini org selalu salah memaknai bhw “vokal” sebagai politisi legislator itu artinya banyak ngomongnya meskipun kurang berisi. Vokal sesungguhnya adalah bicara tetapi berkualitas dan substantif isinya.

Leave a comment