Menimbang Kembali Cara Pandang
B. Herry-Priyono
Beberapa butir kikir di bawah ini barangkali layak ditimbang sebagai alternatif cara-pandang dalam mendekati berbagai masalah secara baru:
Tentang Hidup Bersama:
‘Hidup bersama’ (shared life) bukanlah/belumlah suatu fakta, melainkan cita-cita. Justru karena itu, kita tidak bisa mengandaikannya begitu saja. Rupanya salah satu akar kegelisahan kita terletak dalam gejala bahwa tidak semua orang sepakat dengan cita-cita minimal hidup bersama itu. Memakai kata-kata seperti ‘Indonesia’, ‘bangsa’, ‘umum’, dsb adalah cara tutur yang mengandaikan adanya ‘hidup bersama’. Tetapi kita juga tahu semua itu semakin kehilangan substansi. Selain berbagai retorika keutamaan (seperti solidaritas, belas-kasih, dsb.), barangkali tidak ada faktor yang lebih menentukan kondisi shared life ketimbang dinamika kekuasaan. Bisa dibilang, setiap upaya membangun dan merusak ‘hidup bersama’ mengandaikan kepekaan terhadap bagaimana dinamika ‘kekuasaan’ berlangsung di masyarakat. Ini suatu commonsense yang sederhana.
Tentang Kekuasaan:
Dalam pengertian paling sederhana, ‘kekuasaan’ adalah kapasitas (dan kondisi) A untuk membuat B melakukan (i) apa yang A kehendaki terhadap B, (ii) juga seandainya B tidak menghendakinya. Dari pengertian paling minim inipun sudah kelihatan bahwa definisi legal-formal tentang kekuasaan samasekali tidak memadai. Kekuasaan terjelma paling tidak melalui 3 mekanisme:
1. Mekanisme legal-formal: otoritas presiden/DPR untuk mengeluarkan peraturan pemerintah ada dalam kategori ini.
2. Mekanisme informal: kapasitas nyata konglomerat untuk membeli dan menyuruh para polisi melakukan penggusuran suatu kawasan ada dalam kategori kedua ini.
3. Mekanisme pembentukan preferensi: kapasitas para kapten iklan dan media untuk membentuk corak dan isi selera/pilihan konsumen ada dalam kategori ketiga ini.
Masing-masing kategori tak lebih/kurang penting dibanding lainnya. Dari mana kapasitas itu muncul? Dari pemilikan/kontrol sumber-daya beserta perangkatnya secara asimetris: modal, senjata, doktrin, ketrampilan, proses administratif, dsb. Sifat asimetri itu sendiri netral, dalam arti tidak dengan sendirinya melahirkan abuse. Soal ‘kekuasaan’ baru muncul ketika praktik dan pelaksanaannya punya implikasi yang merusak shared life.
Tentang Loci Kekuasaan:
Dari pola-pola di atas segera kelihatan bahwa locus kekuasaan di masyarakat bukanlah tunggal (monocentre), tetapi jamak (polycentres). Maka menyesatkan untuk menganggap ‘pemerintah’ sebagai satu-satunya pemegang kekuasaan. Kalau memang bukan tunggal, apakah siapapun punya kekuasaan? Tidak juga. Beberapa sentra kekuasaan jauh lebih digdaya dibanding lainnya. Seorang Megawati lebih berkuasa ketimbang seorang buruh pabrik, tetapi seorang James Riady juga lebih berkuasa ketimbang seorang gubernur. Tentu pola itu bukanlah keseluruhan cerita. Dalam realpolitik, mana lebih digdaya: Salim group ataukah BPPN? Pokok ini rupanya penting untuk dikenali, dan pergeseran-pergeserannya dalam sungai sejarah perlu dicermati terus-menerus. Misalnya, omongan kita tentang globalisasi samasekali tidak punya isi apapun kecuali kita menganggap serius bahwa kepemilikan modal merupakan locus kekuasaan yang telah bertambah secara dramatis (misal: kalau saya punya US$20 milyar asset, dan saya dibebaskan dari regulasi entry-exit, petimbangan lingkungan, dan lapangan kerja, tentu saja saya begitu berkuasa).
Tentang Demokra(tisa)si:
Dapat dibilang, gagasan/gerakan ‘demokrasi’ lahir dari pertanyaan berikut: apakah proses ‘hidup bersama’ melibatkan masalah kekuasaan? ‘Demokrasi’ berangkat dari asumsi bahwa pertanyaan tersebut dijawab ‘ya’. Tanpa adanya masalah kekuasaan dalam hidup bersama, gagasan/gerakan demokrasi kehilangan seluruh raison d’être-nya (alasan adanya). Dalam arti substantif, demokrasi merupakan gagasan/gerakan untuk membuat akuntabel kekuasaan yang praktiknya punya dampak luas pada hidup bersama (the socially consequential exercise of power).
Tentang Target Demokratisasi (1)
Kontroversi mulai, ketika soalnya dilanjutkan ke pertanyaan berikut: locus dan praktik kekuasaan mana yang mesti menjadi target demokratisasi? Tak ada rumus baku (seperti yang selama ini kita kira, yaitu ‘kekuasaan pemerintah’), karena bentuk dan praktik kekuasaan yang punya dampak pada kehidupan bersama bergeser (berubah-ubah) dalam sungai sejarah. Bisa saja kekuasaan itu berupa kekuasan kepala suku, raja, sultan, pemerintah, militer, bisnis, dsb. Mematok target demokratisasi pada bentuk kekuasaan tertentu (misal: kekuasaan pemerintah), sementara konstelasi kekuasaan dalam perjalanan sejarah selalu bergeser (berubah-ubah), adalah sebentuk fundamentalisme politik. Dari kriteria internal demokrasi ini sendiri mungkin segera kelihatan bahwa ironi paling besar dalam sejarah kita dewasa ini adalah lolosnya ‘kekuasaan modal’ yang begitu besar dari kriteria akuntabilitas publik, seperti yang selama ini diterapkan pada ‘kekuasaan pemerintah’.
Tentang Sumber Kekuasaan:
Meskipun mungkin logika di atas begitu jelas (self-evident), pengertian umum bukanlah demikian (di sinilah soal ‘ideologi’ menjadi begitu relevan). Rupanya akarnya terletak dalam gagasan tentang sumber kekuasaan. Soal ini paling jelas dalam pembedaan antara watak ‘publik’ kekuasaan pemerintah dan sifat ‘privat’ kekuasaan bisnis. Lugasnya, sumber kekuasaan pemerintah adalah kontrolnya atas negara Indonesia, dan negara Indonesia bukanlah milik pribadi. Sebaliknya, sumber kekuasaan bisnis adalah pemilikan atas modal, yang adalah hak milik pribadi. Dalam gagasan libertarian, kriteria demokrasi diterapkan pada yang pertama (pemerintah), tapi bukan pada yang kedua (modal/bisnis). Mungkin inilah akar terdalam dari ketidak-berdayaan kita terhadap kesewenangan modal yang bisa keluar-masuk sesukanya dalam proses ekonomi suatu negara. Problem kunci dari cara pandang seperti itu adalah dilepasnya proses ‘pemilikan’ (ownership/property) dari fakta ‘kekuasaan’ (power). Tetapi, sebagaimana kita sudah hafal, property dan power adalah kembar Siam yang tidak bisa dipisahkan oleh operasi apapun. Tak ada property yang tidak melibatkan power, sebagaimana tidak ada power yang tidak melibatkan property. Apa yang mau dikatakan hanyalah cara-pikir sederhana ini: hak pribadi atas property yang kinerjanya masuk ke dalam proses-proses kekuasaan dengan implikasi luas pada hidup bersama tidak semestinya lolos dari meja-hijau demokrasi. Pemakaian private property dalam industri perkayuan punya implikasi mendalam pada tata lingkungan hidup. Dengan mudah contoh itu bisa diganti dengan soal lapangan kerja, pool deposito, proses pembentukan konsumerisme, ketersediaan kredit, tersedianya pendapatan negara untuk program kesejahteraan, ketersediaan kebutuhan-kebutuhan pokok, tingkat hidup para buruh dan petani, dsb.
Tentang Dinamika Kausalitas (sebab-akibat) Kekuasaan:
Sementara kurang tepat mengatakan bahwa kekuasaan pemerintah sudah seluruhnya dilucuti oleh kekuasaan modal, berbagai indikator dalam dinamika hubungan pemerintah-bisnis dewasa ini menunjukkan gejala perlucutan seperti itu. Mungkin yang makin perlu dicermati tentang faktor yang sangat menentukan kondisi hidup bersama kita dalam lintasan sejarah kita dewasa ini bukan lagi sekadar gejala kediktatoran negara Leviathan, melainkan dominasi oligarki modal (atau justru kombinasi keduanya) atas makin banyak aspek dalam proses manajemen hidup bersama. Mungkin beberapa diagram yang begitu disederhanakan berikut ini berguna:
1. Model Tradisional:
Corak kekuasaan pemerintah Kondisi hidup bersama
(situasi bisnis, sosial, kultural, agama, dsb)
2. Model Alternatif (posisi paling moderat berdasar fakta polycentres of power):
Ciri kekuasaan bisnis
Ciri kekuasaan pemerintah
Ciri kekuasaan militer
Ciri kekuasaan lembaga/kelompok agama
(dsb.)
3. Dalam dinamika kongkret relasi-relasi kekuasaan, model no. 2 punya kemungkinan implikasi empiris berikut (cf. Neo-liberalisme):
Corak kekuasaan bisnis Ciri kekuasaan pemerintah, Kondisi hidup bersama
Militer, agama, dsb
Tentang Target Demokratisasi (2):
Kalau memang pola kausalitas (per-sebab-an) alternatif di atas punya basis nyata dalam proses empirik, nampaknya imajinasi kita kelewat cupet kalau kita masih menganggap bahwa hanya kekuasaan pemerintah lah yang mesti menjadi target demokratisasi. Tentu banyak sebab mengapa demikian. Salah satunya, model tradisional itu merupakan cara paling mudah untuk mendekati berbagai persoalan, karena rapih, jelas dan sudah menjadi pemahaman umum (misal: pokoknya “hajar negara!”). Pengalaman dan memory kita tentang Orde Baru juga merawat anggapan itu. Tetapi mungkin segera terlihat bahwa pendekatan seperti itu akan semakin menderita sembelit analitis dan empiris. Artinya, tidak sesuai baik dengan proses nyata yang memang terjadi di lapangan maupun dengan keketatan refleksi analitis. Singkatnya, sebagaimana sumber kekuasaan bersifat jamak, dan sebagaimana locus kekuasaan yang punya dampak luas pada hidup bersama juga bersifat jamak, maka target demokratisasi juga bersifat jamak. Pandu-nya bukan dogma, melainkan pembacaan atas pergeseran-pergeseran konstelasi dinamika kekuasaan dalam proses sejarah.
Tentang “Netralitas” Perangkat Cara-pandang
Kalau ada kelebihan sederhana dari commonsense sebagaimana tertulis di atas, mungkin kelebihan itu terletak dalam hal berikut. Ia tidak anti ‘kekuasaan’, bukan anti ‘pasar’, dan bukan juga anti ‘pemerintah’. Kalaupun ada sebuah ‘anti’, dengan lugas mesti dibilang bahwa cara pikir ini punya satu target: anti terhadap praktik kekuasaan yang tidak akuntabel. Tidak akuntabel terhadap apa/siapa? Terhadap re-konstruksi hidup bersama. Pada titik ini, bolehlah saya mengajukan suatu gagasan lain. Setiap kehidupan bersama (shared life) dalam kehidupan moderen dibangun di atas perimbangan 3 poros kekuatan: komunitas-civic, pasar, badan publik (e.g., pemerintah, organisasi monitor). Dominasi salah satu poros atas poros-poros lainnya biasanya melahirkan kerusakan shared life. Stalinisme (dominasi negara), tribalisme-komunal (dominasi komunalisme), dan neo-liberalisme (dominasi pasar) adalah contohnya.
Badan Publik Pasar
Komunitas
Pada hemat saya, kecenderungan yang semakin menonjol dewasa ini bukan dominasi badan-publik (baca: negara) atas poros-poros lainnya (pasar dan komunitas), melainkan dominasi agenda ‘pasar’ bebas atas poros-poros lainnya (komunitas dan badan-publik).
Tentang Civil Society
Kalau ‘demokrasi’ tidak lagi bisa dimengerti sebatas gerakan mengontrol kekuasaan pemerintah, demikian juga ‘civil society’ tidak lagi bisa dipahami semata-mata sebagai antitesa (lawan/kebalikan) terhadap negara/pemerintah. Hemat saya, civil society persis merupakan baik kondisi maupun gerakan untuk mengupayakan perimbangan 3 poros kekuatan masyarakat (komunitas, pasar, badan-publik). Civility suatu masyarakat terletak dalam perimbangan ketiga poros itu.
Tentang Beberapa Kemungkinan Implikasi bagi Gerakan
Beberapa butir refleksi di atas punya implikasi penting bagi gerakan rakyat. Di antaranya adalah pokok-pokok berikut ini:
1. Selain memberi perhatian pada malpraktik yang dilakukan aparat negara & militer, makin mendesak kita mulai memfokuskan pada berbagai malpraktik yang dilakukan oleh sektor bisnis swasta. Seperti yang mulai meledak belakangan ini di AS, malpraktik-malpraktik bisnis (Enron, Disney, WorldCom, Xerox, Merck, dsb) merupakan bentuk-bentuk kinerja kekuasaan bisnis yang merusak tata-hidup bersama. Di Indonesia, malpraktik-malpraktik bisnis sesungguhnya jauh lebih ganas daripada apa yang terjadi di AS (misal: kasus BLBI, PKPS, kerusakan ekologi, kredit macet, pengemplangan pajak perusahaan, dsb).
2. Mengingat dalam banyak hal pemerintah telah menjadi tawanan sektor bisnis (sehingga otoritas pemerintah sudah seperti “pèpèsan kosong”), sudah saatnya urusan akuntabilitas publik sektor bisnis tak lagi hanya diserahkan kepada otoritas regulatif pemerintah. Untuk itu, pembentukan dan perluasan jaringan pemantau malpraktik bisnis yang diprakarsai berbagai kelompok rakyat rupanya menjadi kebutuhan yang sangat mendesak.
3. Sebagaimana pemantauan kita pada malpraktik para pejabat negara berfokus pada sejauh mana tindakan mereka menguntungkan/merugikan mayoritas rakyat, begitu pula gerakan pemantauan terhadap malpraktik bisnis juga diarahkan pada soal sejauhmana kinerja bisnis menguntungkan/merugikan tata-hidup mayoritas rakyat. Misalnya, apakah proses akumulasi modal/laba yang dilakukan oleh bisnis punya dampak positif/negatif pada tersedianya kredit rakyat, kondisi lingkungan hidup, kesejahteraan buruh, survival para petani, penyediaan prasarana publik (jalan, transportasi, air, listrik), dsb.
4. Sekali lagi, gerakan-gerakan seperti ini bukan untuk diarahkan ke sentimen anti-bisnis, anti-pasar, anti-modal, anti-pemerintah, dsb, tetapi justru untuk membuat kinerja bisnis, pasar, modal dan pemerintah tidak berdiri di atas pasir. Dan, agar kinerja kekuasaan-kekuasaan itu menjadi akuntabel terhadap tata-hidup bersama (terutama tidak menghancurkan hidup kelompok-kelompok marginal seperti petani, buruh, penduduk “asli”, dan kelompok-kelompok marginal lain).
5. Sudah lama kita begitu gemar bicara etika. Pada hemat saya, pokok-pokok di atas persis menyangkut masalah etika-kemasyarakatan yang begitu urgen dewasa ini: bagaimana dalam rangka tata-hidup bersama, kinerja “kekuasaan yang digerakkan oleh kepentingan laba pribadi” (self-interest) terkait dengan “kebaikan bersama” (common goods). Rantai penghubung kedua hal itu bukan terutama sidang-sidang, melainkan gerakan mendesakkan akuntabilitas publik pada berbagai kinerja pencarian laba. Tak ada akuntabilitas publik tanpa desakan.
6. Karena hampir semua gejala/peristiwa di bawah langit ini bukan hasil dari upaya eksklusif pribadi/kelompok kita, begitu pula gerakan mendesakkan akuntabilitas publik juga hanya bisa dilancarkan melalui jaringan kerjasama (yang mengatasi agama, suku, ataupun golongan).
Akhirnya
Tentu, klarifikasi cara-pandang adalah satu hal, sedang operasionalisasi adalah lain hal. Sebagaimana semua pembaruan cara-pandang hanya lahir dari kepekaan kita terhadap gejala baru sejarah, begitu pula operasionalisasinya juga butuh pengerahan imajinasi kita. Demikian, karena sejarah bukanlah kisah linear tentang nasib, determinisme, dan ketidak-terelakan. Sejarah adalah hasil dari jaringan gagasan, tindakan, dan gerakan kita.
B. Herry-Priyono
Leave a Reply