Siasat Negatif dan Birokrasi Upeti

Siasat Negatif dan Birokrasi Upeti

Hendrawan Supratikno

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta para pejabat negara tidak mencari-cari kelemahan aturan hukum untuk mencari keuntungan. “Jangan bersiasat negatif,” demikian Presiden (Kompas, 5/10).
Sebelumnya, Presiden sudah berkali-kali menyampaikan kekecewaannya terhadap kinerja birokrasi kita. Akhir tahun lalu, Presiden menginginkan budaya unggul (culture of excellence) dapat menjadi identitas dan semangat kelembagaan negara. “Kalau orang lain bisa, mengapa kita tidak bisa?” kata Presiden saat itu.


Kemudian, Presiden kembali mengingatkan para pejabat negara agar melakukan penghematan secara serius. Pemborosan yang dilakukan para pejabat melukai perasaan rakyat yang tengah dirundung kesulitan ekonomi.
Bahkan, untuk memperlancar reformasi di berbagai bidang, Presiden merencanakan mengeluarkan keputusan presiden untuk membentuk unit kerja yang melekat langsung kepada dirinya. Bersamaan dengan itu, pemerintah telah mempersiapkan lima rancangan undang-undang baru untuk mereformasi birokrasi.

Defisiensi birokrasi
Kekesalan masyarakat terhadap birokrasi negara sebenarnya sudah menjadi rahasia umum. Profesi-profesi terhormat dalam negara modern saat ini menjadi plesetan. “Hakim” dibuat singkatan “hubungi aku kalau ingin menang”, “Polisi” kependekan “Perkara Orang Lain Itu Sumber Income”, “Jaksa” disebut-sebut “Jika Akan Kalah Suap Aja”. Daftar ini masih panjang.
Bayangkan jika seorang petugas pajak di lapangan diberi target atasannya ketika harus memeriksa laporan keuangan wajib pajak. Bayangkan juga bagaimana seorang polisi, saat mau bertugas luar, diberi target setoran. Jika target setor tak tercapai, petugas-petugas itu harus merelakan jabatannya untuk diganti oleh yang lain, yang lebih mampu setor.
Siapa yang mengajari rakyat untuk membuat surat izin mengemudi (SIM) secara kilat? Siapa yang mengajari pengusaha mengatur laporan pajaknya? Siapa yang mengajari bagaimana menyiasati peraturan untuk kepentingan upeti? Jawabnya sama: mereka yang paling berwenang dalam bidangnya masing-masing.
Di sini, gengsi jabatan dan besaran rezeki merupakan fungsi dari kemampuan mempersulit pihak lain. Berbagai peraturan yang tujuannya baik dengan mudah disulap menjadi senjata tambahan untuk memperbesar rezeki tak resmi. Akhirnya, segala sesuatu bisa diatur asal ada “peluru” untuk sang birokrat. Dari sinilah muncul istilah “atur-able” (pokoknya dapat diatur).
Dalam memanfaatkan anggaran negara pun, sang birokrat harus mampu menciptakan “masalah” terus-menerus. Suatu program atau proyek harus dipertahankan agar tidak selesai karena selesai berarti pos anggaran untuk itu tak ada lagi. Secara sistematik, birokrasi jadi part of the problem, bukan part of the solution. Solusi berarti berkurangnya rezeki.
Pos-pos birokrasi yang “basah” dipe- rebutkan seperti memperebutkan peluang investasi. Pertimbangan yang digunakan adalah perhitungan untung rugi, seperti berapa banyak rezeki bisa ditangguk selama menjabat dan berapa lama uang yang dikeluarkan untuk memperoleh jabatan tersebut dapat kembali (pay-back period).
Di belantara birokrasi yang demikian, seorang pejabat yang baru menjabat sudah memiliki dua “musuh” sekaligus, yaitu pejabat lama yang telah digantikan dan calon pejabat baru yang akan menggantikannya.
Singkatnya, sebagian besar rakyat menilai, berurusan dengan birokrasi berarti biaya atau melayani. Bayangan ideal Max Weber, bahwa birokrasi merupakan organisasi skala besar yang efisien, jauh dari apa yang ada di birokrasi kita.

Tunggu apa lagi?
Tampaknya telah terdapat kesepakatan luas bahwa reformasi birokrasi merupakan titik dobrak reformasi dalam segala bidang. Tanpa disertai reformasi birokrasi secara mendasar, kebijakan sehebat apa pun hanya indah di atas kertas. Ujung-ujungnya, kita hanya menyaksikan sebuah “negeri wacana” atau “negeri mimpi”.
Berbagai studi telah menunjukkan bahwa kualitas pembangunan suatu negara merupakan fungsi dari kualitas birokrasinya. Kualitas birokrasi inilah yang akan menentukan seberapa efektif kebijakan publik dilaksanakan.
Di negara dengan sistem ekonomi pasar, kualitas birokrasi yang buruk akan menghasilkan kualitas regulasi yang buruk pula. Jika ini terjadi, mekanisme pasar akan melahirkan benih-benih destruktif yang dalam jangka panjang dapat mengundang revolusi sosial.
Terhadap birokrasi yang demikian, saya jadi teringat dengan ucapan John F Kennedy saat dilantik menjadi Presiden Amerika Serikat awal tahun 1961, “If a free society cannot help the many who are poor, it cannot save the few who are rich.”
Banyak gagasan telah dikemukakan untuk mereformasi birokrasi negara. Mulai dari usulan audit dan penataan menyeluruh terhadap strategi, struktur, sistem, proses, sumber daya manusia, relasi antarperan dan fungsi sampai pengembangan good governance (tata kelola yang baik) di seluruh tatanan birokrasi. Presiden sendiri yang harus menjadi motor penggerak utama reformasi ini.
Dalam konteks globalisasi saat ini, waktu yang tersedia bagi kita semakin terbatas. Tanpa reformasi birokrasi, proses marjinalisasi bangsa di kancah global menjadi tak terelakkan.
Sekarang saja, untuk tetap bertahan optimistis, kita harus mengeluarkan energi batin yang lebih besar. Untuk menjaga kehormatan dan kebanggaan sebagai warga negara, kita harus membuat daftar “toleransi” yang lebih panjang. Hal ini tak bisa dibiarkan terus.

Hendrawan Supratikno

Direktur Program Pascasarjana IBII, Jakarta

Leave a comment