Budaya Nir-kekerasan: Niscayakah?

Budaya Nir-kekerasan: Niscayakah?
Maria Hartiningsih dan Tonny D Widiastono

Seberapa luas sebaran konflik dan kekerasan di Indonesia pasca-Orde Baru? Apakah tepat istilah kekerasan berbasis sentimen etnis dan agama, atau dua hal itu hanya alat yang digunakan elite politik untuk mencapai tujuannya? Bagaimana hubungan agama dan negara? Bagaimana pula masa depan demokrasi dan kebangsaan Indonesia?

Pascareformasi, kekerasan tersebar luas di berbagai wilayah di Indonesia. Citra Indonesia sebagai negeri yang ramah runtuh. Konflik berbasis sentimen primordial dengan sebab-sebab yang tak terduga telah memberi ”wajah baru” pada Indonesia.

Konflik itu tidak berada di ruang kosong. Ada timbunan di bawah karpet tebal ”kesatuan” dan ”persatuan” yang menekan kebinekaan pada zaman Orde Baru.

Reformasi membuka semua saluran yang dimampatkan dengan pendekatan keamanan, membuat beragam kepentingan yang lama ditekan mencuat bersamaan di ruang publik.

Gambaran itu semakin jelas, khususnya pada pascareformasi, ketika relasi-relasi kekuasaan yang semula tampaknya mapan menjadi tergoyahkan dan batas-batas identitas kembali digugat. Dalam situasi seperti itu, konflik adalah suatu keniscayaan. Banyak konflik bahkan menjadi seperti ”hal biasa”. Misalnya dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) dan pemekaran wilayah, yang dalam banyak hal tampaknya lebih didasari pertimbangan politis ketimbang kesejahteraan rakyat.

Karakteristik konflik tak bisa diisolasi satu dari lainnya. Konflik yang menggunakan sentimen agama dan etnis bisa jadi hanya bungkus untuk menutupi kepentingan lainnya yang lebih bersifat pragmatis dan jangka pendek, yakni penguasaan sumber-sumber ekonomi. Akarnya bisa jadi bersifat struktural karena menancap pada sistem serta kebijakan politik dan ekonomi nasional.

Penelitian Profesor Yoshinori Murai dari Universitas Sophia, Tokyo, Jepang, yang ditulis di majalah Aglo (2005), memperlihatkan, konflik berdarah di Kalimantan Barat pada tahun 2000, misalnya, jauh melintasi persoalan etnis (dan agama).

Inti persoalannya lebih terkait dengan isu-isu politik dan marjinalisasi masyarakat adat akibat kebijakan pemerintah, mencakup kebijakan transmigrasi, pertambangan, dan konsesi-konsesi eksplorasi hutan. Di hadapan kapital, berbagai kelompok etnik berebut rezeki dan mengais keuntungan dalam putaran liar karena hukum yang lemah. Bellum contra omnes, siapa kuat, menang.

Menegasikan hak warga negara

Sebagai negara-bangsa (nation-state), kebangsaan Indonesia merupakan apa yang disebut indonesianis Ben Anderson, an imagined (political) community (1987), yakni komunitas yang dikonstruksikan secara sosial-politik dan dibayangkan secara inheren terbatas dan berdaulat.

An imagined community berbeda dengan komunitas betulan karena tidak terjadi interaksi langsung di antara anggotanya; mereka tidak mengenal satu sama lain; tidak mendengarkan satu sama lain, apalagi berdialog, tetapi bayangan sebagai bangsa dihidupi di setiap pikiran warga.

Sebagai negara-bangsa, kebangsaan Indonesia senantiasa berada di dalam proses ”menjadi”. Presiden pertama RI, Soekarno, menyadari bahwa karakter bangsa harus terus dibangun. Namun, proses itu mengandung kerentanan-kerentanan, terutama karena ketidakmampuan para pemimpinnya memahami peta sosio-kultural-ekologis setiap wilayah dan masyarakatnya. Itu tecermin dari berbagai produk peraturan dan perundangan yang menentukan hajat hidup warga.

Terdiri dari ribuan kebudayaan yang tersebar pada lebih dari 17.000 pulau dengan perbedaan ukuran yang ekstrem, isu paling rentan itu terkait dengan masalah etnis dan agama. Politisasi identitas atas dasar dua isu itu paling banyak digunakan dalam konflik dan kekerasan untuk membungkus kepentingan pribadi para elite politik.

Terkait dengan itu, ada persoalan mendasar dalam hubungan antara agama dan negara, yang berpotensi menegasikan hak-hak sipil warga negara. Ketika negara menentukan yang mana ”agama” dan yang mana ”bukan agama”, implikasinya sangat luas. Para penghayat keyakinan yang berada di luar enam agama ”resmi” akan dicap sebagai animis. Yang menyatakan tidak beragama langsung dituduh komunis. Mereka diperlakukan secara diskriminatif, khususnya kalau menyangkut urusan administrasi kependudukan yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat.

Baik negara maupun otoritas agama kemudian juga menentukan definisi sesat atau tidaknya suatu aliran. Pertanyaannya adalah apa definisi agama terhadap warga negara, dan sebaliknya, definisi kewarganegaraan terhadap agama. Jawabannya penting untuk menjelaskan mengapa pada tahun 2007 saja terjadi 185 kasus kekerasan terkait dengan kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia.

Konflik dan kekerasan yang bermuatan sentimen keagamaan sangat kompleks, baik menyangkut konstruksi faham maupun faktor- faktor sosiologis yang rumit. Tak jarang konflik itu terbingkai dalam relasi- relasi sosial yang bersifat hegemonik ketika hubungan antarpemeluk agama (termasuk intern umat beragama) berada dalam pola hubungan mayoritas-minoritas yang sarat ketegangan.

Ironisnya, seperti diperlihatkan penelitian Center for Democracy and Human Rights Studies (Demos) tahun 2005, masyarakat Indonesia semakin menempatkan identitas agama dan kesukuan sebagai identitas utama, baru kemudian identitas kebangsaan dan kemanusiaannya.

Defisit demokrasi

Perjalanan demokrasi di Indonesia belum menghadirkan demokrasi yang substansial. Yang terjadi adalah defisit demokrasi; terjadi kesenjangan antara aspek-aspek esensial demokrasi— yakni nilai-nilai yang nondiskriminatif, berkeadilan, dan berdasarkan hak asasi manusia—dan aspek-aspek instrumental demokrasi.

Demokrasi prosedural menghasilkan apa yang disebut ilmuwan politik, Georg Sørensen (2003), sebagai demokrasi beku, tanpa makna. Ia melahirkan ketidakpastian hukum dan mempertaruhkan esensi demokrasi karena berpotensi melahirkan tirani mayoritas; suatu rezim otoritarianisme baru bertabir agama dan moralitas.

Munculnya peraturan-peraturan daerah (perda) bernuansa moralitas dan agama adalah salah satu hasilnya meski dalam banyak hal perda-perda itu lebih digunakan untuk mengalihkan perhatian dari berbagai persoalan riil daerah yang tak mampu dicarikan solusinya oleh para pemimpinnya. Di tingkat nasional ada Rancangan Undang-Undang Pornografi, dan mungkin saja akan diikuti pasal-pasal terkait dalam KUHP yang sedang diamandemen.

Semua ini jelas bertentangan dengan konstitusi negara ini yang menjamin hak untuk bebas dari perlakuan diskriminasi atas dasar apa pun (Pasal 28i-2) dan hak untuk menyatakan pikiran dan sikap sesuai hati nurani (Pasal 28e-2).

Dalam situasi itu, bagaimana masyarakat warga mulai membangun budaya nir-kekerasan, sementara para pemimpin lebih disibukkan oleh politik kekuasaan?

Budaya nir-kekerasan tak bisa diandaikan kalau solidaritas sebagai bangsa tak dapat ditumbuhkan. Solidaritas itu harus dibangun atas dasar ingatan bersama tentang perjuangan masa lalu dalam membangun bangsa dan kesediaan untuk berkorban demi masa depan bangsa. Solidaritas mencakup upaya-upaya mempertahankan dan mengembangkan rasa kebersamaan, saling menghormati, toleransi, empati, mau mengakui kesalahan serta siap mengorbankan kepentingan pribadi, kelompok dan golongan untuk kepentingan bangsa.

Barangkali bisa direnungkan pandangan filosof Perancis, Ernest Renan, tentang bangsa, Qu’est-ce qu’une nation? dalam ceramahnya di Sorbonne, 11 Maret 1882.

Ia mengatakan, ”Where national memories are concerned, griefs are of more value than triumphs, for they impose duties, and require a common effort. A nation is therefore a large-scale solidarity, constituted by the feeling of the sacrifices that one has made in the past and of those that one is prepared to make in the future” (Geoff Eley dan Ronald Grigor Suny, ed, Becoming National: A Reader, 1996).

Dengan pemahaman sebagai bangsa yang seperti itu, baru dapat dibangun ruang-ruang negosiasi untuk mendefinisikan kembali masa depan kebangsaan dan demokrasi Indonesia yang menghargai keberagaman dan keberbagaian, sekaligus mengembangkan budaya nir-kekerasan. Niscayakah?

Leave a comment