Memotong Lingkaran Kekerasan

Memotong Lingkaran Kekerasan

Kekerasan merupakan bagian gelap dari historiografi Indonesia, dan sebelumnya, historiografi Nusantara. Ada kesinambungan historis. Pertanyaannya, dapatkah budaya kekerasan ditransformasikan menjadi budaya perdamaian?

egeri ini sesungguhnya teramat kaya, baik sumber daya alam maupun sumber budaya, yang ditandai oleh sekitar 600 bahasa lokal. Pakar hukum adat kolonial, C van Vollenhoven, berusaha mengelompokkan 19 wilayah hukum adat. Meskipun itu perlu ditinjau kembali, Vollenhoven sudah memberi pijakan untuk merunut kembali masalah etnisitas dan identitas etnis di wilayah jajahan Hindia Belanda itu.

Negeri ini sangat heterogen dari segi ekologi dan geografinya. Mosaik yang indah ini mengandung kerentanan karena dipenuhi paradoks, tetapi juga dapat memperkuat integrasi nasional karena saling mengisi. Dengan catatan, kalau cerdas mengelolanya.

Baru pada awal abad ke-20, Pemerintah Belanda berhasil menyatukan seluruh wilayah di dalam sistem, yang oleh John Sydenham Furnivall—pegawai pemerintah kolonial Inggris dan ahli tentang Myanmar—disebut masyarakat plural.

Di dalam rezim kolonial itu, masyarakat yang berbeda-beda asal kesukuannya dipersatukan dan disusun berlapis menurut warna kulitnya. Pribumi diletakkan di dasar piramida, di atasnya orang-orang China dan Timur Asing lainnya, lalu orang-orang yang disetarakan dengan orang Eropa, dan di puncak hierarki adalah orang-orang Eropa.

Mereka hidup terpisah-pisah, berbicara dalam bahasa masing-masing, memeluk agama dan adat-istiadatnya sendiri-sendiri. Satu-satunya tempat pertemuan adalah pasar dan menggunakan bahasa Melayu, yang berkembang menjadi bahasa Indonesia modern.

Belanda baru menyerahkan seluruh kepulauan jajahannya, kecuali Papua kepada Republik Indonesia Serikat pada tanggal 14 desember 1949, sebagai tanggapan terhadap perjuangan kemerdekaan yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945.

Negara dan bangsa Indonesia pascakolonial mewarisi wilayah yang begitu luas, beserta seluruh konsekuensi dari proses penyederhanaan dan pemersatuan segala perbedaan historis dan struktural, termasuk konsekuensi dari penyederhanaan sistem agraria dan distribusi sumber daya alam.

Rezim Orde Baru merangkum semua itu dalam urusan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) yang nyaris tabu dibicarakan karena dianggap sensitif sebagai pemicu kekerasan.

Tak lahir dari kekosongan

Pandangan bahwa pluralitas suku, agama, ras, dan golongan (budaya) sebagai penyebab konflik atau kekerasan massal tak bisa diterima begitu saja. Pendapat itu mungkin benar untuk sebuah kasus, tetapi belum tentu benar untuk kasus lainnya.

Segala macam peristiwa dan gejala sosial-budaya, termasuk konflik dan kekerasan massal, pada dasarnya tidak lahir dari kekosongan sosial-budaya. Ada kondisi-kondisi struktural dan kultural tertentu dalam masyarakat yang beragam, tetapi bukan tanpa batas dan merupakan hasil dari suatu proses sejarah yang bersifat khusus.

Namun, masyarakat-masyarakat itu juga berada di bawah sistem politik tertentu (di bawah pemerintahan rezim tertentu, Orde Baru, misalnya) sehingga proses sejarahnya memiliki banyak persamaan satu dengan yang lain.

Tidak semua kondisi struktural memberi sumbangan yang sama besar untuk munculnya suatu gejala atau peristiwa sosial-budaya tertentu. Ada kondisi primer atau langsung, dan pendukung penting dari terjadinya gejala itu, antara lain terdesaknya kelompok tertentu dari akses kekuasaan dan sumber daya lewat proses yang dianggap tidak adil dan curang, penguasa baru atas akses dan sumber daya adalah ”para pendatang”, apalagi kalau berbeda budaya, agama, atau rasnya, serta etnosentrisme dan eksklusivisme.

Kondisi sekundernya, antara lain, ”rasa keadilan” masyarakat setempat tak terpenuhi, aparat pemerintahan tidak peka terhadap kondisi genting masyarakat, atau malah memihak salah satu kelompok, kesadaran kebangsaan yang lemah, dan pengetahuan budaya lokal yang sangat kurang.

Budaya kekerasan sebagaimana budaya nir-kekerasan merupakan budaya yang tumbuh dalam kondisi struktural dan kultural tertentu. Dengan mengetahui kondisi-kondisi struktural dan kultural yang memunculkan budaya kekerasan, secara tak langsung akan diketahui pula kondisi yang melahirkan budaya nir-kekerasan.

Selain itu, ada fakta lain yang penting. Kawasan Timur Indonesia memiliki komposisi keragaman etnik yang besar dalam unit-unit kecil dan rentan, dan masyarakat etnik tempatannya terancam tekanan kekuatan nilai-nilai dari luar yang lebih kuat dan mendapat dukungan negara, modal, serta restu lembaga-lembaga keagamaan.

Sejak zaman kolonial, di wilayah Papua yang kaya sumber daya alam, misalnya, diperkenalkan nilai-nilai keagamaan terlebih dulu berdasarkan segregasi wilayah. Agama telah sejak lama dimanfaatkan sebagai alat untuk mengubah rakyat yang bebas menjadi tenaga kerja dalam sistem produksi kapitalis.

Sementara di wilayah Barat, terutama di pulau-pulau besar, tinggal kelompok-kelompok suku bangsa dalam unit besar di wilayah-wilayah yang relatif miskin sumber daya. Mereka bergerak ke Timur untuk ikut mengeksploitasi sumber daya alam dan nyaris menggusur partisipasi penduduk setempat. Akibatnya, terjadi kesenjangan antara para pendatang dan warga setempat, yang sangat efektif membungkus segala soal sehari-hari yang remeh-temeh ke dalam hubungan antarsuku.

Nasib malang penduduk setempat tak sulit dikaitkan dengan kelakuan pendatang. Sementara pendatang yang sukses justru menyalahkan segala derita ketertinggalan penduduk setempat sebagai kelemahan mereka sendiri.

Fakta seperti ini terjadi di seluruh wilayah garis depan operasi kapital baru, termasuk kapital global, seperti di banyak wilayah operasi hak pengusahaan hutan (HPH), perkebunan, pertambangan dan eksploitasi minyak dan gas. Di wilayah lautan juga terjadi eksploitasi besar-besaran, yang melahirkan eksploitasi sistematis terhadap manusia.

Berbagai upaya

Dari catatan sejarah Nusantara, dapat dilihat benang merah kekerasan, baik di tingkat elite maupun rakyat. Namun, pada banyak kebudayaan, ada cara adat untuk menyelesaikan konflik yang dimulai dari persoalan personal, meluas ke ranah publik.

Meski pada masa kolonial terlihat munculnya para broker perdamaian dalam setiap kerusuhan atau perang, pada masa kini pun hal seperti itu tak terhindari. Perdamaian dengan cara itu, dalam banyak hal, sifatnya sementara karena rekonsiliasi hanya terjadi di meja perundingan, melibatkan banyak orang luar. Sementara di tingkat akar rumput yang paling menderita akibat konflik, tak banyak terjadi perubahan karena mereka tidak terwakili di meja perundingan.

Upaya rekonsiliasi yang lebih genuine dimulai di tingkat akar rumput. Pada konflik di Ambon dan Maluku, misalnya, perempuan banyak berperan sebagai agen perdamaian, dengan menghubungkan pihak-pihak yang bertikai melalui hal-hal yang sederhana dalam kegiatan hidup sehari-hari. Banyak keluarga saling melindungi pihak yang dianggap musuh karena kesadaran akan persaudaraan dan hakikat kemanusiaan.

Namun, kesadaran warga sebagai anggota suatu bangsa memang harus terus diasah. Perbedaan budaya antarmanusia harus diperkenalkan melalui pendidikan jangka panjang dan berkelanjutan sejak dini agar perbedaan itu memperkaya kesamaan sebagai manusia dan meningkatkan kesadaran setiap warga.

Pendidikan seperti itu harus diajarkan mulai dari keluarga ke seluruh lini dan sektor, termasuk pada industri pers, kepada jurnalis, dengan memperkenalkan mazhab-mazhab jurnalisme baru, agar mereka dapat mendudukkan soal dan meredam konflik, bukan memperbesarnya melalui berita-berita yang menebarkan kebencian dan prasangka.

Semua ini mudah diucapkan, tetapi sangat rumit di lapangan karena semua pihak cenderung mempertahankan kebenaran dan kepentingannya masing-masing dan mengabaikan sejarah sebagai manusia dan saudara sebangsa. Seluruh upaya membangun budaya nir-kekerasan dan keadilan berbasis hak asasi manusia sebagai warga negara harus terus dilakukan, kecuali kalau….
(Maria Hartiningsih/ Tonny Widiastono)

Leave a comment